OSH... kembali lgi,... kali ini saya akan mempostingkan postingan sekaligus tugas akhir semester saya, yaitu menganilis dan mengkonversi hikayat. Hikayat yang saya pilih ialah Hikayat Ajisaka, mengapasaya memilih Hikayat Ajisaka?....saya memilinya karna kemungkinan besar hanya saya yang akn menganalisisnya di kelas (mengingat Hikayat Kintaro saya diragukan), kedua karna saya tau persis bagaimana jalan ceritanya dan karna saya dulu pernah tinggal selam kurang lebih 11 tahun di Surabaya.
OKE inilah HASIL KERJA saya
Ajisaka
Pada jaman
dahulu, di Pulau Majethi hidup seorang satria tampan bernama Ajisaka. Selain
tampan, Ajisaka juga berilmu tinggi dan sakti mandraguna. Sang Satria mempunyai
dua orang punggawa, Dora dan Sembada namanya. Kedua punggawa itu sangat setia
kepada pemimpinnya, sama sekali tidak pernah mengabaikan perintahnya. Pada
suatu hari, Ajisaka berkeinginan pergi berkelanan meninggalkan Pulau Majethi.
Kepergiannya ditemani oleh punggawanya yang bernama Dora, sementara Sembada
tetap tinggal di Pulau Pulo Majethi, diperintahkan menjaga pusaka andalannya.
Ajisaka berpesan bahwa Sembada tidak boleh menyerahkan pusaka tersebut kepada
siapapun kecuali kepada Ajisaka sendiri. Sembada menyanggupi akan melaksanakan
perintahnya.
Ganti cerita, pada masa itu di tanah Jawa terdapat negara
yang terkenal makmur, tertib, aman dan damai, yang bernama Medhangkamulan. Rajanya
bernama Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang luhur budinya serta bijaksana.
Pada suatu hari, juru masak kerajaan mengalami kecelakaan, jarinya terbabat
pisau hingga terlepas. Ki Juru Masak tidak menyadari bahwa potongan jarinya
tercebur ke dalam hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Prabu. Ketika tanpa
sengaja memakan potongan jari tersebut ,
Sang Prabu serasa menyantap daging yang sangat enak, sehingga ia mengutus Sang Patih untuk
menanyai Ki Juru Masak. Setelah mengetahui bahwa yang disantap tadi adalah
daging manusia, sang Prabu lalu memerintahkan Sang Patih agar setiap hari
menghaturkan seorang dari rakyatnya untuk santapannya. Sejak saat itu Prabu
Dewatacengkar mempunyai kegemaran yang menyeramkan, yaitu menyantap daging
manusia. Wataknya berbalik seratus delapanpuluh derajat, berubah menjadi bengis dan senang menganiaya. Negara
Medhangkamulan beubah menjadi wilayah yang
angker dan sepi karena rakyatnya satu persatu dimangsa oleh rajanya,
sisanya lari menyelamatkan diri. Sang
Patih pusing memikirkan keadaan, karena sudah tidak ada lagi rakyat yang bisa
dihaturkan kepada rajanya.
Pada saat itulah Ajisaka bersama punggawanya, Dora, tiba di
Medhangkamulan, heranlah Sang Satria melihat keadaan yang sunyi dan menyeramkan
itu, maka ia lalu mencari tahu penyebabnya. Setelah mendapat keterangan mengenai
apa yang sedang terjadi di Medhangkamulan, Ajisaka lalu menghadap Rekyana Patih,
menyatakan kesanggupannya untuk menjadi santapan Prabu Dewatacengkar. Pada
awalnya Sang Patih tidak mengizinkan karena merasa sayang bila Ajisaka yang tampan dan masih muda harus
disantap Sang Prabu, namun Ajisaka sudah bulat tekadnya, sehingga akhirnya
iapun dibawa menghadap Sang Prabu. Sang Prabu tak habis pikir, mengapa orang
yang sedemikian tampan dan masih muda mau menyerahkan jiwa raganya untuk
menjadi santapannya. Ajisaka mengatakan
bahwa ia rela dijadikan santapan sang Prabu asalakan ia dihadiahi tanah seluas
ikat kepala yang dikenakannya. Di samping itu, harus Sang rabu sendiri yang mengukur wilayah yang
akan dihadiahkan tersebut. Sang Prabu menyanggupi permintaannya. Ajisaka
kemudian mempersilakan Sang Prabu menarik ujung ikat kepalanya. Sungguh ajaib,
ikat kepala itu seakan tak ada habisnya. Sang Prabu Dewatacengkar terpaksa
semakin mundur dan semakin mundur, sehingga akhirnya tiba ditepi laut selatan.
Ikat kepala tersebut kemudian
dikibaskan oleh Ajisaka sehingga Sang Prabu terlempar jatuh ke
laut. Seketika wujudnya berubah menjadi buaya putih. Ajisaka kemudian menjadi raja di Medhangkamulan.
Setelah dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan, Ajisaka
mengutus Dora pergi kembali ke Pulo Majethi menggambil pusaka yang dijaga oleh
Sembada. Setibanya di Pulo Majethi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa
ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan
pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Ajisaka ketika meninggalkan
Majethi. Sembada yang juga melaksanakan perintah Sang Prabu memaksa meminta
agar pusaka tersebut diberikan kepadanya. Akhirnya kedua punggawa itu
bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling
menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.
Kabar mengenai tewasnya Dora dan Sembada terdengar oleh Sang
Prabu Ajisaka. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua punggawa
kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk
mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu.
Ha Na Ca Ra Ka
Ana utusan (ada utusan)
Da Ta Sa Wa La
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
Pa Dha Ja Ya Nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
Ma Ga Ba Tha Nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
Ha Na Ca Ra Ka
Ana utusan (ada utusan)
Da Ta Sa Wa La
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
Pa Dha Ja Ya Nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
Ma Ga Ba Tha Nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
·
Unsur Intrisnsik
Tokoh : Aji Saka : Berani, cerdas, kurang
hati-hati
Dora :
Setia & selalu menuruti perintah.
Sempada :
Setia & selalu menuruti perintah.
Prabu Dewatacengkar :
Bengis & senang menganiaya.
Tema :
Alur : Maju.
Sudut
Pandang : Orang ketiga serba tau.
Latar : Pulau Majethi, Medhangkamulan.
Amanat : Perbuatan buruk akan mendapatkan
balasan yang buruk juga.
Janji harus ditepati.
Harus jelas
dan hati-hati dalam tindakan dan memberikan tanggung jawab
kepada orang lain agar
tidak menyesal.
·
Unsur Ekstrinsik
Latar
belakang : Dilatar belakangi oleh asal
mula terbentuknya aksara jawa.
Nilai
moral : Menepati janji.
Isi Pokok
|
Kutipan
|
Di Pulau Majethi terdapat sorang satria
bernama Ajisaka dan kedua punggawanya.
|
Pada jaman
dahulu, di Pulau Majethi hidup seorang satria tampan bernama Ajisaka. Selain
tampan, Ajisaka juga berilmu tinggi dan sakti mandraguna. Sang Satria
mempunyai dua orang punggawa, Dora dan Sembada namanya. Kedua punggawa itu
sangat setia kepada pemimpinnya, sama sekali tidak pernah mengabaikan
perintahnya.
|
Ajisaka
meningggalkan Pulau Majethi bersama Dora. Sembada menjaga pusaka di Pulau
Majethi.
|
Pada suatu hari, Ajisaka berkeinginan pergi berkelanan
meninggalkan Pulau Majethi. Kepergiannya ditemani oleh punggawanya yang
bernama Dora, sementara Sembada tetap tinggal di Pulau Pulo Majethi,
diperintahkan menjaga pusaka andalannya. Ajisaka berpesan bahwa Sembada tidak
boleh menyerahkan pusaka tersebut kepada siapapun kecuali kepada Ajisaka
sendiri. Sembada menyanggupi akan melaksanakan perintahnya.
|
Di
negri Mendhangkamulan terdapat Raja bernama Prabu Dewatacengar.
|
Ganti cerita, pada masa itu di tanah Jawa terdapat negara
yang terkenal makmur, tertib, aman dan damai, yang bernama Medhangkamulan.
Rajanya bernama Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang luhur budinya serta
bijaksana.
|
Juru
masak Prabu tidak sengaja memasukan potongan jarinya kehidangan yang dimakan
prabu.
|
Pada suatu hari, juru masak kerajaan mengalami kecelakaan,
jarinya terbabat pisau hingga terlepas. Si Juru Masak tidak menyadari bahwa
potongan jarinya tercebur ke dalam hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang
Prabu. Ketika tanpa sengaja memakan potongan jari tersebut , Sang Prabu serasa menyantap daging yang
sangat enak, sehingga ia mengutus Sang
Patih untuk menanyai Ki Juru Masak. Setelah mengetahui bahwa yang disantap
tadi adalah daging manusia, sang Prabu lalu memerintahkan Sang Patih agar
setiap hari menghaturkan seorang dari rakyatnya untuk santapannya.
|
Watak
Prabu berubah 180 derajat setelah menyukai danging manusia.
|
Sejak saat itu Prabu Dewatacengkar mempunyai kegemaran yang
menyeramkan, yaitu menyantap daging manusia. Wataknya berbalik seratus
delapanpuluh derajat, berubah menjadi
bengis dan senang menganiaya. Negara Medhangkamulan beubah menjadi wilayah
yang angker dan sepi karena rakyatnya
satu persatu dimangsa oleh rajanya, sisanya lari menyelamatkan diri. Sang Patih pusing memikirkan keadaan,
karena sudah tidak ada lagi rakyat yang bisa dihaturkan kepada rajanya.
|
Ajisaka
dan Dora yang tiba di Medhangkamulan mennghadap ke Prabu. Untuk menjadikan
dirinya sebagai santapan Prabu.
|
Pada saat itulah Ajisaka bersama punggawanya, Dora,
tiba di Medhangkamulan. heranlah Sang Satria melihat keadaan yang sunyi dan
menyeramkan itu, maka ia lalu mencari tahu penyebabnya. Setelah mendapat
keterangan mengenai apa yang sedang terjadi di Medhangkamulan, Ajisaka lalu menghadap Rekyana Patih,
menyatakan kesanggupannya untuk menjadi santapan Prabu Dewatacengkar.
|
Ajisaka
yang ingin menjadi santapan prabu awalnya tidak diizinkan oleh patih.
|
. Pada awalnya Sang Patih tidak mengizinkan karena
merasa sayang bila Ajisaka yang
tampan dan masih muda harus disantap Sang Prabu, namun Ajisaka sudah bulat
tekadnya, sehingga akhirnya iapun dibawa menghadap Sang Prabu. Sang Prabu tak
habis pikir, mengapa orang yang sedemikian tampan dan masih muda mau
menyerahkan jiwa raganya untuk menjadi santapannya. Ajisaka mengatakan bahwa ia rela dijadikan
santapan sang Prabu asalakan ia dihadiahi tanah seluas ikat kepala yang
dikenakannya. Di samping itu, harus Sang
rabu sendiri yang mengukur wilayah yang akan dihadiahkan tersebut.
|
Prabu
menarik ikat kepala Ajisaka yang panjang hingga terjatuh ke laut dan menjadi
buaya putih.
|
. Sang Prabu menyanggupi permintaannya. Ajisaka
kemudian mempersilakan Sang Prabu menarik ujung ikat kepalanya. Sungguh
ajaib, ikat kepala itu seakan tak ada habisnya. Sang Prabu Dewatacengkar
terpaksa semakin mundur dan semakin mundur, sehingga akhirnya tiba ditepi
laut selatan. Ikat kepala tersebut kemudian
dikibaskan oleh Ajisaka sehingga Sang Prabu terlempar jatuh ke laut. Seketika
wujudnya berubah menjadi buaya
putih. Ajisaka kemudian menjadi
raja di Medhangkamulan.
|
Ajisaka menjadi raja Medhangkamulan dan memerintah Dora
untuk menjemput pusakanya.
|
Setelah dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan,
Ajisaka mengutus Dora pergi kembali ke Pulo Majethi menggambil pusaka yang
dijaga oleh Sembada. Setibanya di Pulo Majethi, Dora menemui Sembada dan
menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka.
|
Sembada
tidak mau memberikan pusak ke Dora, sehingga terjadilah pertempuaran diantara
mereka berdua . Hingga pada akhirnya mereka sama-sama tewas.
|
Sembada tidak mau memberikan
pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Ajisaka ketika meninggalkan
Majethi. Sembada yang juga melaksanakan perintah Sang Prabu memaksa meminta
agar pusaka tersebut diberikan kepadanya. Akhirnya kedua punggawa itu
bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru,
saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.
|
Ajisaka
menyesal atas kematian 2 punggawanya. Ajisaka menciptakan aksara jawa untuk
mengabdikan ke-2 punggawanya.
|
Kabar mengenai tewasnya Dora dan
Sembada terdengar oleh Sang Prabu Ajisaka. Ia sangat menyesal mengingat
kesetiaan kedua punggawa kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk
menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu.
Ha Na Ca Ra Ka Ana utusan (ada utusan) Da Ta Sa Wa La Padha kekerengan (saling berselisih pendapat) Pa Dha Ja Ya Nya Padha digdayané (sama-sama sakti) Ma Ga Ba Tha Nga Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat) |
·
Identifikasi
Karakteristik
Kemustahilan
No.
|
Kemustahilan
|
Kutipan Teks
|
1.
|
Ikat kepala yang panjang hingga ke
laut.
|
Sungguh ajaib, ikat kepala itu seakan tak
ada habisnya. Sang Prabu Dewatacengkar terpaksa semakin mundur dan semakin
mundur, sehingga akhirnya tiba ditepi laut selatan.
|
2.
|
Sang prabu berubah menjadi buaya
putih.
|
Ikat kepala tersebut kemudian dikibaskan oleh Ajisaka sehingga
Sang Prabu terlempar jatuh ke laut. Seketika
wujudnya berubah menjadi buaya
putih. Ajisaka kemudian menjadi
raja di Medhangkamulan.
|
·
Kesaktian
o
Ikat kepala Ajisaka bisa sangat panjang, hingga
pantai selatan.
Merubah Hikayat
Menjadi Cerpen
Di
suatu tempat di Pulau Majethi, hiduplah seorang satri tampan bernama Ajisaka. Suatu
hari Ajisaka ingin pergi berkelana meninggalkan Pulau Majethi, ia ditemani oleh
kedua punggawanya yang bernama Dora dan
Sempada. Kedua punggawa tersebut sangat setia kepada Ajisaka dan tidak pernah
mengabaikan perintahnya.
Suatu
hari Ajisaka tiba di negri Mendhangkamulan yang makmur, aman, damai
dan tertib yang memiliki Raja bernama Prabu Dewatacengar. Prabu Dewatacengar
memiliki budi yang luhur dan bijaksana, namun suatu hari ia tidak sengaja
memakan jari juru masak. Prabu yang memakan jari tersebut merasakan daging yang
sangat enak, ia pun menanyakan daging apa yang ia makan kepada si juru masak.
Setelah mengetahui yang ia makan adalah daging manusia, Prabu memerintahkan Sang Patih agar setiap hari
menghaturkan seorang dari rakyatnya untuk santapannya. Semenjak itulah watak
Prabu berubah 180 derajat menjadi bengis dan suka menganiaya. Negri Mendhangkamulan
pun berubah menjadi negri yang angker dan sepi.
Pada suatu hari, datanglah Ajisaka
dan penggawanya ke Negri Mendhangkamulan. Setelah mendengar cerita dari
penduduk setempat, , Ajisaka lalu menghadapa Rekyana Patih,
menyatakan kesanggupannya untuk menjadi santapan Prabu Dewatacengkar. Pada awalnya Sang Patih tidak mengizinkan karena merasa
kasihan bila Ajisaka yang tampan dan
masih muda harus disantap Sang Prabu, namun Ajisaka sudah bulat tekadnya, akhirnya
iapun dibawa menghadap Sang Prabu. Ajisaka
mengatakan bahwa ia rela dijadikan santapan sang Prabu asalakan ia dihadiahi
tanah seluas ikat kepala yang dikenakannya. Itu pun harus Sang rabu sendiri yang mengukur wilayah yang
akan dihadiahkan tersebut. Lalu Sang Prabu menyanggupi permintaannya. Ajisaka kemudian
mempersilakan Sang Prabu menarik ujung ikat kepalanya. Sungguh ajaib, ikat
kepala itu seakan tak ada habisnya. Prabu terus menariknya sambil mundur hingga
terjatuh kelaut dan berubah menjadi buaya putih.
Akhirnta Ajisaka diangkat menjadi raja Medhangkamulan,
Ajisaka mengutus Dora pergi kembali ke Pulo Majethi menggambil pusaka yang
dijaga oleh Sembada. Setibanya di Pulau Majethi, Dora menemui Sembada dan
menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka. Namun Sembada tidak mau memberikan pusaka
tersebut karena ia memegang perintah Ajisaka ketika meninggalkan Majethi.
Sembada yang juga melaksanakan perintah Sang Prabu memaksa agar pusaka tersebut
diberikan kepadanya. Kedua punggawa itu pun bertempur dengan memegang
masing-masing perintah Ajisaka. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan
berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, hingga akirnya kedua penggawa tersebut
sama-sama mati.
Berita tewasnya Dora dan Sembada terdengar oleh Ajisaka. Ia meras menyesal karena kesetiaan
kedua punggawanya tersebut. Kesedihannya itulah yang mebuat Ajisaka menciptakan
aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu. Aksara tersebut
lalu dikanel dengan aksara jawa ( aksaro jowo).
Ha Na Ca Ra Ka
Ana utusan (ada utusan)
Da Ta Sa Wa La
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
Pa Dha Ja Ya Nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
Ma Ga Ba Tha Nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
Ha Na Ca Ra Ka
Ana utusan (ada utusan)
Da Ta Sa Wa La
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
Pa Dha Ja Ya Nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
Ma Ga Ba Tha Nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
No comments:
Post a Comment
Pengunjung yang baik ialah pengunjung yang meninggalkan jejak komentarnya.